Artefak-Artefak Gunung Padang Cianjur Yang Misterius
“Situs Gunung Padang, situs prasejarah megalitik yang menurut beberapa sumber merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara, terletak di Kabupaten Cianjur, ternyata sarat makna yang melibatkan faktor geologi, arkeologi, religiusitas, dan astronomi yang dibangun dalam harmoni bumi dan langit.”
*
Type of research : Geology, History & Archeology
Search research : The Indonesian Megaliths
Location : Cianjur regent, West Java Province.
Sub Location : Karyamukti village, Campaka sub-district.
Village : between Gunungpadang backwoods & Panggulan.
Coordinate : 6°59’36.9035”S – 107°3’22.6264”E
Search research : The Indonesian Megaliths
Location : Cianjur regent, West Java Province.
Sub Location : Karyamukti village, Campaka sub-district.
Village : between Gunungpadang backwoods & Panggulan.
Coordinate : 6°59’36.9035”S – 107°3’22.6264”E
To use English or other languages, chose and click on the Right Sidebar
Dinamakan Gunung Padang, berdasarkan kata “padang” berasal dari beberapa suku kata, yaitu : Pa (tempat), Da (besar/gede/agung/raya) dan Hyang(Eyang/moyang/biyang/leluhur agung). Jadi arti kata Gunung “Pa Da Hyang”, adalah Gunung “Tempat Agung para Leluhur” atau boleh jadi maknanya “Tempat para Leluhur Agung”.
Artikel tentang Gunung Padang Cianjur yang kami rilis sejak tahun 2011 dan belum banyak yang tahu namun telah masuk ke dalam rujukan wikipedia dan beberapa website luar negeri ini, ternyata masih berjalan panjang.
Pada kali ini, kita lihat beberapa penemuan berupa artefak-artefak di situs mahakarya tersebut. Namun tak menutup kemungkinan akan ada banyak artefak-artefak lainnya yang masih terkubur didalamnya dan akan menambah perbendaharaan dalam artikel ini. Dengan berjalannya waktu, Timnas Peneliti Gunung Padang telah menemukan artefak-artefak di situs era megalitikum, situs Gunung Padang Cianjur, Jawa Barat.
Metal Kuno atau Logam Purba Mirip Pisau
Artefak yang mirip sebuah alat dari bahan logam ini bentuknya seperti pisau. Jika dilihat secara seksama maka benda ini seperti ada pegangannya, lalu ada bentuk tajaman berukuran kecil. Logam purba ini ditemukan Maret 2013 lalu, pada artikel part-3 kami. Tim menemukan logam berukuran panjang 10 cm yang telah berkarat ini di lereng timur dengan kedalaman 1 meter.
Mungkin saja logam purba berbentuk pegangan ini, dulunya ada gagangnya dan tajaman pisau ini kemungkinan panjang karena terlihat sudah patah. Dengan adanya artefak ini, membuktikan bahwa warga yang tinggal di situs ini pada masa lalu, sudah mengenal budaya logam.
Dilihat dari komposisinya, yang dominan adalah “Fe” (Ferrum/Besi) dan “O” (Oksigen), dan juga masih ada Silika dan Alumunium plus Karbon dengan bentuk seperti ada rongga-rongga kecil di sekujur materialnya, maka kemungkinan besar itu adalah slug atau logam.
Artefak ini membuktikan ada campur tangan manusia yang telah menggunakan teknologi metal atau bahan logam pada masa itu yang mengacu tentang kemungkinan adanya upaya pemurnian logam atau teknologi metalurgi pada masa purba itu.
Hasil pembakaran hancuran batuan untuk mengkonsentrasikan metalnya terlihat masih tercampur dengan Clinkers (carbon) sebagai bahan pembakarnya. Temuan kandungan karbon tersebut bisa berasal dari kayu, batubara atau minyak bumi.
Sedangkan rongga-rongga yang ada di sekujur material menandakan ketika proses pembakaran, telah terjadi pelepasan-pelepasan gas seperti CO2 dan semacamnya ke permukaan material.
Berdasarkan hipotesis, besar kemungkinan sudah ada proses pembakaran hancuran batu dengan temperatur tinggi, proses pemurnian pembuatan logam pada waktu yang terkait dengan lapisan pembawa artefak tersebut.
Namun dimana lokasi teknik pembakaran itu belum diketahui, apakah dilakukan dilokasi atau dilakukan ditempat lain. Menindaklanjuti temuan logam tersebut, tim arkeologi mengecek kandungannya ke labaratorium Metalurgi dan Mineral Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Tim masih harus menunggu hasil pemeriksaan laboratorium untuk memastikan dugaan kuat bahwa leluhur kita sudah mengenal teknologi metalurgi sebelum 11.500 tahun yang lalu. Selain itu, artefak tersebut membuktikan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan itu bukanlah masyarakat yang berburu dan peramu makanan.
Tim arkeolog belum memasukannya ke dalam laboratorium karena benda ini terlihat rapuh sekali, sedangkan di laboratorium, benda ini akan diperlakuan cukup banyak untuk penelitian, jadi artefak ini masih disimpan tim arkeolog. Kajian lebih lanjut atas temuan menarik artefak dari logam ini belum dirilis.
Semen Purba
Semen Purba yang ditemukan di situs Gunung Padang mampu mengikat batu-batu purba. Semen Purba adalah material pengisi diantara batu-batu kolom purba, yang punya kadar besi tinggi. Bahkan diantaranya ada batu kolom yang sudah pecah berkeping-keping, namun ditata dan disatukan lagi oleh material pengisi atau disebut sebagai Semen Purba ini, yang kami rangkum dalam artikel sebelumnya pada part-5.
Makin ke bawah “kotak gali”, semen purba ini terlihat makin banyak, dan merata setebal 2 sentimeteran di antara batu-batu kolom. Selain di kotak gali, semen purba ini juga sudah ditemukan pada tebing undak antara Teras-1 dan Teras-2, dan juga pada sampel inti bor dari kedalaman 1 sampai 15 meter dari pemboran yang dilakukan oleh tim pada tahun 2012 lalu di atas situs.
Temuan semen purba juga ditemukan saat tim geologi melakukan pengeboran di Teras-2 dan Teras-5 jauh sebelumnya, yaitu sekitar Februari 2011 silam, semen purba ini diperkirakan berusia minimal 11.500 tahun.
Artefak Mirip Kujang
Artefak ini terbuat dari batu, ditemukan dibagian selatan Teras-5 pada Sabtu (14/9/2014), dan tertimbun cukup dalam. Artefak mirip senjata khas Jawa Barat ini dinamai “Kujang Gunung Padang”. Benda ini telah diamati dan diperkirakan asli buatan manusia zaman dulu, di mana batunya dipangkas dan dibentuk pada semua permukaan lalu digerinding atau digosok, sehingga menjadi halus permukaannya.
Sebelum prasejarah, teknik tersebut sudah dikenal dan dipergunakan masyarakat luas pada masa lalu. Selain itu, bentuk benda seperti itu mungkin hanya satu-satunya di dunia.
Tahukah anda konstanta “pi” dalam matematika? Kontanta sebesar 22/7 atau 3,14 itu dipakai dalam perhitungan luas dan keliling lingkaran serta volume tabung dan bola seantero jagad hingga abad modern ini.
Tim riset Gunung padang mengatakan bahwa artefak serupa kujang yang ditemukan lewat ekskavasi itu merupakan cerminan dari konstanta “pi” itu sendiri.
Konstanta “pi” dalam kujang itu bisa diketahui ketika mengukur panjang dan lebar bagian kujang yang meruncing. Bagian yang meruncing punya panjang 22 cm dan lebar 7 cm.
Kalau dihitung, 22 dibagi tujuh = pi. Hal itu mencengangkan, dan diluar yang dibayangkan tim peneliti. Luar biasa sekali. Ukuran kujang itu menunjukkan bahwa leluhur yang tinggal di Gunung Padang sudah mengenal ilmu geometri!
Kujang Gunung Padang juga punya keunikan lain, yaitu punya anomali magnetik. Kujang itu memiliki tiga sisi, namun ketiga sisi itu hanya bisa merespon kutub magnet yang sama. Sebab anomali magnetik itu belum diketahui.
Selain itu, struktur kujang ini memang unik, karena di dalam permukaannya ada kandungan metal!. Pada perbesaran 32 kali, tampak ada struktur seperti kawat.
Kujang Gunung Padang ini adalah artefak pertama yang ditemukan sepanjang penggalian sejak Sabtu (14/9/2014) lalu. Namun temuan kujang sempat meragukan.
Berdasarkan pengamatan terhadap foto objek yang bersangkutan tidak tampak adanya jejak pemangkasan, baik monofasial maupun bifasial pada permukaan batu ini.
Jejak pemangkasan baik bifasial maupun monofasial dibidang permukaan batu biasanya tidak menghasilkan permukaan yang rata akan tetapi memiliki bentuk permukaan yang berbeda dengan sisi bidang yang tidak terpangkas. Permukaan batu yang rata tersebut besar kemungkinan merupakan produk dari proses pelapukan batuan.
Oleh karenanya, kujang ini diteliti secara intensif dan dibawa ke laboratorium di Jakarta. Artefak ini akan diteliti dengan alat yang dinamakan mikrotemografi seperti cytiscan,yang nantinya benda tersebut dimasukan ke lab untuk mencari tahu pada bagian mana artefak itu telah dimodifikasi oleh tangan-tangan manusia pada benda dimasa lalu tersebut.
Penelitian ini akan menguak, apakah pada artefak tersebut ada kemungkinan mengandung zat-zat atau material yang menempel, atau bekas tumbuhan, atau dipakai untuk menebang pohon, atau lainnya.
Untuk sementara, kujang ini diduga berasal dari masa 500 – 5.200 tahun yang lalu berdasarkan hasil penanggalan karbon pada lapisan tanah tempat penemuannya.
Pecahan Tembikar atau Gerabah
Peneliti Gunung Padang melakukan penyelidikan atas temuan beberapa pecahan tembikar atau gerabah yang terbuat dari tanah dan hampir semuanya ditemukan di Teras-2. Artefak itu adalah jenis artefak pertama yang ditemukan dan terbuat dari tanah liat. Beberapa tembikar atau gerabah ini menunjukan manusia sudah memiliki kemampuan untuk membuat wadah. Selain itu temuan kendi cukup banyak dalam kondisi pecah-pecah.
Benda tersebut diperiksa oleh ahli tembikar atau gerabah dan ternyata pembuatannya kala itu menggunakan teknik yang ditekan, bukan menggunakan roda putar. Untuk pembuatan tembikar atau gerabah, roda putar adalah teknik belakangan yang dipakai manusia.
Pembuatan tembikar atau gerabah Gunung Padang dengan teknik ditekan awalnya, membuktikan masa periodenya yang memang cukup tua. Dari berbagai bentuknya tim arkeolog sudah mempelajari, dan tembikar-tembikar itu ada yang seperti kendi dan piring.
Gerabah tersebut telah diidentifikasi bentuknya yakni mangkuk, tempayan, dan kendi. Gerabah-gerabah tersebut kemungkinan besar dibawa oleh peziarah yang ingin melakukan ritual di Gunung Padang.
Tim peneliti telah membuat secara simulasi kemungkinan benda itu untuk prosedur prosesi dari peziarah yang datang dari utara mengambil air untuk bersuci dengan kendi, naik ke tangga utara dan terus hingga ke teras 1, lalu membasuh diri. Setelah membasuh diri, benda itu ditinggalkan, lalu mereka melakukan ritual berikutnya.
Pecahan Keramik
Peneliti Gunung Padang juga melakukan penyelidikan atas temuan beberapa pecahan keramik oleh seorang petani yang sedang mencangkul di lereng barat situs prasejarah Gunung Padang itu. Keramik-keramik tersebut buatan Eropa abad 19 dan China abad 16.
Peneliti yang tergabung dalam Tim Terpadu Riset Mandiri telah melihat temuan tersebut dan membuat dokumentasi, serta melakukan identifikasi awal. Dari enam fragmen keramik tersebut, dua di antaranya merupakan keramik asing. Keramik itu salah satunya diketahui sebagai keramik Eropa yang lazim diproduksi pada abad ke-19 Masehi. Keramik tersebut kemungkinan berasal dari Belanda.
Juga ada keramik China yang lazim diproduksi pada akhir Dinasti Ming, sekitar abad ke-16 Masehi. Mengenai kaitan antara keramik asing dan situs Gunung Padang yang merupakan bangunan prasejarah tersebut masih terus diteliti. Bisa jadi keramik-keramik itu adalah peninggalan para peziarah pada masa kerajaan hingga masa kolonial Belanda.
Koin Amulet Gunung Padang
Tim peneliti situs megalitikum Gunung Padang juga telah menemukan koin dengan ukiran saat melakukan pengeboran sedalam 11 meter di Teras-5 situs tersebut. Sepertinya terdapat ukiran berwujud manusia pada logam itu.
Bentuk koin ini ditemukan tengah malam 15 September 2014 lalu saat pengeboran mencapai 11 meter. Koin terangkat bor melalui saluran pembuangan limbah, sehingga koin itu berbentuk utuh tidak rusak. Coring menggunakan mata bor kecil berdiameter 5 sentimeter, disamping sisi kiri dan kanan bor ada saluran air agar memudahkan pengeboran, lalu dikeluarkan melalui saluran sisi lainnya. Di saat saluran air itu berjalan, koin itu terangkat. Sehingga bentuk koin tersebut masih sangat utuh.
Ketika arkeolog menemukan koin yang diperkirakan terbuat dari perunggu itu, tim juga kaget dengan adanya mirip wajah orang dalam koin yang ditemukan itu. Namun belum bisa dipastikan siapa wajah orang dalam koin tersebut. Bisa jadi ia adalah pemimpin pada masa itu.
Koin itu berhiaskan ukiran pada sisi luar koin, dengan motif yang disebut sebagai gawangan, yaitu motif kotak yang saling terpaut dan mengelilingi koin. Selain itu, ada pula ukiran berupa lingkaran-lingkaran kecil dengan diameter 0,11 millimeter yang berjumlah 84 buah.
Untuk usia koin, tim berpendapat bahwa koin itu berusia lebih dari 10 ribu tahun Sebelum Masehi. Bisa dibayangkan, siapa yang bisa membuat koin sedetail itu pada masa periode tersebut? Untuk usianya arkeolog akan memakai logika saja. Pada kedalaman 4 meter melalui carbon dating usianya sekitar 5200 Sebelum Masehi.
Dan pada kedalaman 11 meter uji karbon menunjukkan usia sekitar 10 ribuan tahun Sebelum Masehi. Namun hal itu masih perlu banyak bukti. Bisa jadi koin itu berasal dari zaman sesudahnya yang melakukan ritual atau berziarah, karena tim baru punya data bor dan artefak ini saja.
Namun, arkeolog lain meragukan dan mengatakan bahwa koin mirip dengan uang Belanda tahun 1945, karena koin baru mulai diciptakan 1.000 – 1.200 tahun yang lalu. Maka itu harus dipastikan uji lab yang lebih akurat, karena penanggalan karbon sangat vital dalam arkeologi.
Untuk itu, sampel koin yang ditemukan di Gunung Padang ini rencananya akan dikirim ke Betalab, Miami, Amerika Serikat untuk dilakukan uji karbon. Pengiriman sampel koin ke Amerika Serikat itu dilakukan untuk memastikan usia artefak itu karena sebelumnya, tim memperkirakan koin berasal dari masa 5.200 Sebelum Masehi.
Selama ini riset arkeologi didasarkan pada komparasi, membandingkan apa yang ada dalam peradaban kita dengan yang ada di belahan dunia lainnya. Kita tidak mau dengan komparasi, makanya akan dilakukan penanggalan karbon. Dan koin ini diduga berasal dari masa 500 – 5.200 tahun yang lalu berdasarkan hasil penanggalan karbon lapisan tanah tempat penemuannya.
Hasil Penelitian Koin Gunung Padang di Lab. Indonesia
Tim Peneliti sudah mendapatkan hasil analisa Laboratorium Metalurgi Universitas Indonesia. Hasil analisa laboratorium menunjukkan meski tembaga sebagai unsur dominan dalam koin itu, namun koin masih ada 3 unsur lain yaitu iron, timbal dan nikel ( Cu: 92,4 persen, . Pb: 3,93 persen, . Fe: 1,9 persen, . Ni: 0,09 persen) Dari komposisi Hasil lab ini untuk sementara disimpulkan koin ini bukanlah berfungsi sebagai alat tukar, melainkan semacam Amulet.
Amulet adalah bagian dari kebudayaan yang belum diungkap oleh ilmu pengetahuan dan sering dikategorikan mistik, Amulet di Indonesia memiliki akar budaya yang sudah sangat tua, turun-temurun masih ditemukan hingga kini. bentuknya bukan hanya logam tapi bisa berbentuk lain.
Pembuatan sebuah amulet yang berkualitas tidaklah mudah. Biasanya dimulai dari pemilihan material, pemilihan waktu menurut numerology, astrology , pemilihan images (semacam reliefi). Biasanya koin Amulet dipilih berdasarkan kondisi yang dianggap mewakili tingkat tertentu kemajuan peradaban yang kemudian dihormati dan dianggap suci. Karena itu simbolnya adalah manusia atau simbol hewan yang merepresentasikan kebudayaan atau teknologi maju tertentu.
Relief dalam Koin Amulet Gunung Padang masih belum dapat disimpulkan, masih dianalisa. Ada beberapa dugaan relief yang muncul menyerupai tradisi suku maya, seperti tokoh wayang semar, seperti bagian tertentu kalender Sunda Wiwitan, seperti Airlangga hingga mirip kepala manusia menghadap ke kanan menggunakan helm dan sedang menaiki kendaraan tertentu.
Warna koin logam berwarna hijau kecokelatan. Ukurannya sangat kecil berdiameter 1,7 sentimeter dan permukaanya datar. Pada koin itu terdapat lingkaran yang sangat banyak motif, seperti motif gawangan disamping lingkaran koin, lalu di dalamnya ada garis melingkar pada semua bagian koin. Uniknya garis melingkar itu ternyata berbentuk untaian lingkaran yang sangat kecil sekali, dan diameternya sekitar 0,3 milimeter dengan jumlah sebanyak 84 lubang. Lalu tebal koin ini hanya 1,5 milimeter.
Berdasarkan lokasi di kedalaman penemuan bentuk koin itu, perkirakan usianya minimal 5200 SM. Seberapa tua usia pastinya, sulit untuk memastikannya, namun bisa disimpulkan bahwa koin Amulet itu minimal berumur 5200 SM. Memang usia yang tua dari koin amulet ini apalagi dengan teknik peleburan 4 unsur termasuk Nikel ini jauh dari apa yang selama ini kita ketahui tentang logam atau metalurgi dan peleburan logam di sejarah Indonesia dan dunia.
“The Rolling Stone” Gunung Padang
Dalam penelitian yang dilakukan Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) yang dibantu TNI Angkatan Darat pada bulan Oktober 2014 lalu ditemukan sebuah batu dengan bentuk yang unik di lorong yang ada di kedalaman 12 meter. Materi batu itu berbeda dari materi batu yang ada di sekitarnya. Ini membuktikan lorong tersebut dibangun oleh manusia.
Menurut peneliti TTRM Erick Ridzky, sebuah batu lain di dinding dapat diputar-putar dan masih belum diketahui apa fungsinya. Para peneliti sepakat untuk sementara menamakan batu itu batu yang berputar atau rolling stone.
Batu Piramida Tiga Sisi
Seorang penduduk pernah menemukan yang diyakini juga sebuah artefak Gunung Padang yang terbuat dari batu. Ia adalah Juru Pelihara (Jupel) Situs Gunung Padang bernama Pak Nanang.
Dia menyerahkan temuan artefak menyerupai struktur ‘Piramida Nusantara’ itu kepadaTim Riset Terpadu Mandiri (TTRM), pada Selasa (16/9/2014). Artefak ini ditemukan Pak Nanang pada tahun 2010 lalu, dan selama ini selalu ia simpan.
Pak Nanang menyerahkan yang diduga artefak ini karena mengamati bagaimana Tim Riset memperlakukan secara serius temuan artefak-artefak sebelumnya. Kini Tim arkeologi sedang mengkaji temuan artefak itu, karena bentuk simetrisnya sangat penting dan mendekati miniatur ‘Piramida Nusantara Gunung Padang’.
Tim Arkeologi akan mengunjungi siapa yang menemukan, dimana ditemukannya dan apakah memang bagian dari artefak situs ini. Tim Riset Terpadu Mandiri mengucapkan terima kasih atas spontanitas warga setempat yang mau menyerahkan artefak ini untuk diteliti.
Semoga artefak-artefak lainnya yang mungkin selama ini telah ditemukan lalu disimpan oleh siapapun, agar menyerahkan kepada tim guna diteliti untuk menguak misteri situs megalith Gunung Padang ini.
Antara Data Laboratorium dari Opini dari Jauh
Ada semacam kekeliruan seolah-olah Tim Terpadu Riset Mandidi (TTRM) TTRM sengaja mentuakan umur situs Gunung Padang ntuk menciptaan kebanggaan bahwa ada situs lebih tua dari Piramida Giza dan peradaban lainnya. Menurut MetroTV, ini upaya mencari popularitas, mencari tanda jasa.
Kekeliruan lainnya adalah soal sengaja memodernkan peradaban di era yang tidak sinkron dengan temuan semen. Bahkan untuk kata semen saja TTRM dilarang mempergunakannya. Bahkan secara gegabah beberapa arkeolog tanpa pernah melihat temuan koin langsung membelandakan artefak yang ditemukan di kedalaman 11 meter.
Di bawah ini ditulis oleh Staf Khusus Presiden, inisiator Tim Terpadu Riset Mandiri agar tidak simpang siur dan kita bisa melihat temuan Gunung Padang dengan objektif, kami paparkan enam artefak. TTRM hanya menyampaikan informasi berdasarkan analisa dan dibantu oleh informasi laboratorium dalam dan luar negeri. Semua laboratorium tempat TTRM menguji temuan adalah laboratorium yang biasa juga dijadikan tempat para arkeolog dan geolog menguji temuan-temuan lain.
1. Di tahun 2013 spot eskavasi arkeologi DR Ali Akbar dan tim arkeolog UI menemukan dua hal penting.
Pertama, logam sepanjang 10 cm dalam keadaan berkarat. Logam itu ditemukan di lereng timur pada kedalaman satu meter.
Kedua, tim itu juga menemukan semacam sambungan antar batu. Temuan tim arkeologi ini kemudian didiskusikan dengan tim geologi dan tim petrografi serta sudah diuji di laboratorium Metalurgi dan Mineral Fakultas Tekni Universitas Indonesia.
Dari hasil uji lab terdapat kandungan Fe 35, Fe 31, Si 11,95, Al 04,8, 0 42, C 0,5 yang artinya ini adalah logam hasil pembakaran batuan untuk mengkonsentrasikan metal dan kelihatannya masih tercampur dengan clinkers atau carbon.
Ini dapat dilihat dari komposisi Fe dan O yang dominan dan Silika dan Alumunium, serta Carbon. Rongga-rongga kecil di sekujur logam itu juga mengindikasikan proses pembakaran. Bahan pembakarnya bisa carbon dari kayu atau dari batubara atau dari minyak bumi.
2. Orientasi struktur batu.
Pertama, orientasi struktur batu di lereng timur adalah rebah (horisontal) timur-barat. Sementara itu orientasi struktur batu di lereng utara adalah rebah utara-selatan. Secara alami, columnar joint di dalam tanah posisinya berdiri (vertikal). Jika columnar joint secara alami rebah, maka orientasinya akan seragam misalnya seluruhnya mengarah ke utara.
Kedua, struktur batu columnar joint yang ditemukan di kedalaman 4 meter disimpulkan oleh tim geologi dan tim petrografi diselingi lapisan semen purba, perekat atau suar.
Semen purba tersebut berfungsi sebagai perekat sehingga struktur bangunan menjadi sangat kokoh. Dari hasil lab, pada semen tersebut terdapat mono cristallin quartz, iron-magnesium oxides dan clay. Oxide mengandung hematite, magnetite, dan unsur lainnya yang bukan berasal dari pelapukan batu columnar joint.
Temuan semen purba juga didapat dari hasil bor sampling yang dilakukan oleh geolog DR. Andang Bachtiar berdasarkan sejumlah pemindaian seperti geolistrik, georadar dan lain-lain oleh DR Danny Hilman dan tim, menunjukkan sampai kedalaman 18 meter terdapat susunan batu-batu panjang berpenampang segilima (columnar joint) yang disusun manusia. Pengeboran tersebut juga menemukan semacam semen purba di antara columnar joint.
Melalui analisis yang sangat hati- hati DR. Andri S, seorang petrograf menyatakan semen tersebut bukan batuan alami melainkan adonan yang berfungsi sebagai perekat. Berdasarkan hasil uji lab komposisi semen itu terdiri dari 41 persen kuarsa mono kristalin, 45 persen oksida besi magnesium dan 14 persen lempung. Sementara oksidannya terdiri dari 11 persen hematite, 29 persen magnetite dan beberapa jenis oksida besi yang tidak spesifik sebesar 5 persen.
3. Temuan pasir halus saat coring di tahun 2012 cukup mengagetkan. Berdasarkan hasil analisis laboratorium terhadap pasir halus ayak yang dikumpulkan pada saat pengeboran di teras 5 sampai dengan kedalaman 15 meter, diperoleh informasi bahwa pasir ayak tersebut terdiri dari konsentrat butiran kuarsa 68 persen, oksida besi magnesium 22 persen dan silikat gelas 10 persen. (lihat video Paparan Pasir halus) / hasil lab).
Menurut DR. Andang Bachtiar, tidak ditemukannya lempung atau clay dalam komposisi tersebut diinterpretasikan sebagai pasir piramid atau pyramid sand. Hasil ini, lanjutnya, diperkuat dengan analisis laboratorium difraksi X-ray. Oksida besi di semen dan pasir Piramid Gunung Padang menjelaskan adanya “proses” intervensi manusia dengan pemanasan dan pembakaran untuk memurnikan konsentrasi.
4. Temuan riset Gunung Padang yang cukup dahsyat adalah “Kujang”.
“Bentuknya seperti senjata. Ada bagian pegangan, semacam pinggang, bagian bilah yang bifacial, tajaman dibuat dari dua sisi. Benda yang ditemukan ini terbuat dari batu,” DR. Ali Akbar mendeskripsikan.
Karena menyerupai bentuk senjata tradisional kujang, DR. Ali Akbar untuk sementara ini sebagai ‘Kujang Gunung Padang”. Nama asli benda itu belum diketahui persis karena berasal dari masa prasejarah yakni suatu perioede ketika manusia belum mengenal huruf.
Periode penghunian situs Gunung Padang yang telah diketahui minimal mulai 5200 SM sampai minimal 500 Masehi. Artefak ini ditemukan di lokasi kurun waktu minimal 5200 SM. Artinya bisa saja lebih tua usianya.
Hasil pemeriksaan laboratorium mengejutkan, dan mengubah pengetahuan manusia mengenal logam. Kujang Gunung Padang memberi pesan pada dunia bahwa sudah pernah ada teknologi tinggi di bumi Indonesia yang sementara baru ditemukan di Kecamatan Cempaka, Cianjur, Jawa Barat di lokasi piramida nusantara atau bawah permukaan situs Gunung Padang.
Uji laboratorium yang dilakukan di Laboratorium ITB oleh DR. Bagus Endar dkk memperlihatkan bahwa artefak itu mengandung metal dan tersebar merata di seluruh artefak. Geometri artefak rumit dan unik, mengandung unsur segitiga di sepanjang artefak. Pola titik berat di sepanjang artefak sekilas terlihat berbentuk helix atau kurva helical yaitu paduan atau penjumlahan dua buah fungsi sinus yang berbeda sumbu dan berbeda fasa. DR. Didit Ontowirjo dalam penelitiannya menemukan serat seperti kawat di dalam kujang itu.
5. “Koin Gunung Padang” adalah artefak yang cukup mendapat perhatian serius bukan hanya di kalangan arkeolog, kalangan numismatik, namun juga masyarakat luas. Koin ini menjadi tantangan tersendiri bagi tim peneliti untuk mengungkapnya. Apakah koin yang berada dalam bawah permukaan situs itu alat tukar, ataukah memiliki fungsi lain.
Beberapa arkeolog dan ahli numismatik menyatakan koin itu mirip koin Belanda. Sementara beberapa kalangan menyatakan justru Belanda yang meniru koin Gunung Padang. Sementara tokoh-tokoh sepuh yang memiliki kearifan lokal mempunyai pandangan lain bahwa bentuk koin itu bukan alat tukar.
Tim Peneliti mendapatkan hasil analisa Laboratorium Metalurgi Universitas Indonesia. Hasil analisa laboratorium menunjukkan meski tembaga sebagai unsur dominan dalam koin itu, namun koin masih ada 3 unsur lain yaitu iron, timbal dan nikel (Cu: 92,4 persen, Pb: 3,93 persen, Fe: 1,9 persen, Ni: 0,09 persen).
Dari komposisi hasil lab ini untuk sementara disimpulkan koin ini bukanlah berfungsi sebagai alat tukar, melainkan semacam amulet.
Amulet adalah bagian dari kebudayaan yang belum diungkap oleh ilmu pengetahuan sering dikategorikan mistik. Amulet di Indonesia memiliki akar budaya yang sudah sangat tua, turun temurun masih ditemukan hingga kini. Bentuknya bukan hanya logam tapi bisa berbentuk lain.
Pembuatan sebuah amulet yang berkualitas tidaklah mudah. Biasanya dimulai dari pemilihan material, pemilihan waktu menurut numerologi, astrologi, pemilihan images(semacam relief). Biasanya koin amulet dipilih berdasarkan kondisi yang dianggap mewakili tingkat tertentu kemajuan peradaban yang kemudian dihormati dan dinggap suci. Karena itu simbolnya adalah manusia atau simbol hewan yang merepresentasikan kebudayaan atau teknologi maju tertentu.
Relief dalam koin amulet Gunung Padang masih belum dapat disimpulkan, masih dianalisa. Ada beberapa dugaan relief yang muncul menyerupai tradisi suku Maya, seperti tokoh wayang semar, seperti bagian tertentu kalender sunda wiwitan, seperti Airlangga hingga mirip manusia menghadap ke kanan kepala menggunakan helm dan sedang menaiki kendaraan tertentu.
Bentuk koin ini ditemukan tengah malam tanggal 15 September saat pengeboran mencapai kedalaman 11 meter. Koin terangkat bor melalui saluran pembuangan limbah, sehingga koin itu berbentuk utuh tidak rusak. Coring menggunakan mata bor kecil berdiameter 5 sentimeter, disamping sisi kiri dan kanan bor ada saluran air agar memudahkan pengeboran, lalu dikeluarkan melalui saluran sisi lainnya. Di saat saluran air itu berjalan, koin itu terangkat. Sehingga bentuk koin tersebut masih sangat utuh.
Warna koin logam berwarna hijau kecokelatan. Ukurannya sangat kecil berdiameter 1,7 sentimeter dan permukaanya datar. Pada koin itu terdapat lingkaran yang sangat banyak motif, seperti motif gawangan disamping lingkaran koin, lalu di dalamnya ada garis melingkar pada semua bagian koin.Uniknya garis melingkar itu ternyata berbentuk untaian lingkaran yang sangat kecil sekali, dan diamternya sekitar 0,3 milimeter dengan jumlah sebanyak 84 lubang. Lalu tebal koin ini hanya 1,5 milimeter.
Berdasarkan lokasi di kedalaman penemuan bentuk koin itu perkirakan usianya minimal 5200 SM. Seberapa tua usia pastinya, sulit untuk memastikannya, namun bisa disimpulkan koin amulet itu minimal berumur 5200 SM. Memang usia yang tua dari koin amulet ini apalagi dengan teknik peleburan 4 unsur termasuk Nikel ini jauh dari apa yang selama ini kita ketahui tentang logam, peleburan logam di sejarah Indonesia dan dunia.
6. Carbon dating untuk mengetahui usia situs.
Hasil uji Lab BATAN terhadap umur situs Gunung Padang seperti pernah diberitakan sebelumnya menyebutkan bahwa ia lebih tua dari Piramida Giza, Mesir.
Merujuk hasil pengujian carbon dating Lab BATAN dengan metoda LSC C14 dari material paleosoil di kedalaman 4 meter pada lokasi bor coring 1, usia material paleosoil adalah 5500 +130 tahun BP yang lalu. Sedangkan pengujian material pasir di kedalaman 8 s/d 10 meter pada lokasi coring bor 2 adalah 11000 + 150 tahun.
Hasil mengejutkan dan konsisten dikeluarkan oleh laboratorium Beta Analytic Miami, Florida, dimana umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12 meter bada bor 2 umurnya sekitar 14500 hingga 25000 SM, atau atau lebih tua.
Sementara beberapa sample konsisten dengan apa yang di lakukan di Lab BATAN. Kita tahu laboratorium di Miami Florida ini bertaraf internasional yang kerap menjadi rujukan berbagai riset dunia terutama terkait carbon dating.
Gunug Padang didirikan bukan pada satu zaman jadi artefak bisa berasal dari masa yang berbeda-beda
Perlu diketahui bahwa menurut penelitian, situs ini didirikan bukan pada satu zaman, melainkan dibangun dalam beberapa generasi. Arkeolog meyakini bahwa awalnya situs ini tak setinggi sekarang, namun jauh lebih pendek pada awal masanya. Lalu, situs ini kembali dibangun pada bagian atasnya pada generasi berikutnya, lalu dibangun lagi pada generasi sesudahnya. Begitu seterusnya hingga setinggi sekarang.
Jadi, bisa saja semua penemuan artefak-artefak diatas berasal dari masa berbeda-beda. Masa sejak awal Gunung Padang didirikan, masa kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha, hingga pada masa kolonial Belanda, mengingat situs ini sempat didatangi dan diteliti juga pada era kolonial Belanda, hingga pada tahun 1970-an.
Sepanjang sejarahnya, situs ini selama ribuan tahun pernah didatangi dari beberapa generasi. Dan yang mendatanginya dari berbagai lintas generasi, berbagai lintas waktu dan peradaban, dengan berbagai keperluan, mulai dari upacara ritual hingga penelitian di zamannya.
Artinya bisa saja artefak-artefak seperti gerabah dan keramik adalah bagian dari sebuah alat untuk suatu acara ritual. Begitu pula dengan koin yang bisa jadi adalah koin pada masa kolonial Belanda yang pernah mendatangi tempat ini. Tapi untuk artefak yang terbuat dari batu atau semen purba, sudah pasti menjadi kesimpulan yang berbeda.
Namun, jika melihat berbagai penemuan artefak-artefak di Gunung Padang ini menunjukkan suatu kesimpulan, bahwa warga yang sudah menetap di situs itu pada ribuan tahun lalu sebelum ada Piramida Mesir bahkan sebelum ada Machu Picchu, ternyata telah ada populasi manusia dengan jumlah besar, dan mempunyai struktur sosial.
Mereka adalah warga yang sudah teratur, mampu bekerja sama dengan baik, bergotong royong dan mampu membuat bangunan yang besar. Dengan luas Gunung Padang yang diperkirakan lebih luas dari Borobudur, pastinya dibutuhkan banyak tenaga manusia. Artinya, masyarakat kala itu sudah memiliki kemampuan dalam menyediakan pasokan makanan dan minuman sebagai kebutuhan.
Hasilnya kita lihat saja nanti, bagaimana dunia arkeologi sejagad bisa jadi akan terperanjat, melongo dan terpana oleh kejayaan dan keterampilan brilian nenek moyang Nusantara dimasa itu, dimana nenek moyang mereka mungkin masih sibuk di dalam goa, sementara nenek moyang kita sudah mampu membuat bangunan dengan teknologi yang hingga kini masih dipakai.
Komentar
Posting Komentar
Ingatlah untuk selalu memberikan komentar yang sopan dan bermanfaat.