Akhirnya Terkuak! Misteri Batu Bergeser di Danau Kering: Racetrack Playa
Pernah dengar misteri batu meluncur atau batu berjalan? Ya, batu berjalan menjadi salah satu misteri yang paling menarik dari Death Valley National Park, tepatnya di danau kering Racetrack Playa, California-AS. (peta lokasi)
Batu berjalan itu dapat ditemukan dengan mudah di permukaan Playa dengan jejak panjang di belakangnya. Bagaimana mereka dapat bergerak atau berpindah masih menjadi misteri besar di benak para peneliti.
Pasalnya, batu yang berjalan tidak hanya batu kecil yang mudah tertiup oleh angin. Tapi ada beberapa batu besar dengan berat ratusan kilogram yang juga turut “jalan-jalan”.
Pertanyaan besar yang tentu saja akan muncul kemudian: bagaimana cara batu-batu itu bergerak? Ini menjadi tantangan besar bagi para peneliti.
Mengapa fenomena ini menjadi misteri? Karena, tidak ada satu orang pun yang pernah melihat batu-batu itu berjalan!
Sampai hari ini, faktanya adalah tidak ada seorang atau satu organisasi pun yang mengetahui bagaimana batu-batu itu bisa berpindah tempat. Meski begitu, beberapa orang sudah mempunyai penjelasannya masing-masing menurut nalar yang menarik untuk disimak.
Tapi, sebelumnya, sekadar diketahui apa dan di mana Racetrack Playa.
Racetrack Playa adalah danau kering yang berada di sebuah cekungan dengan istilah namaendorheic basin.
Terletak dikawasan bernama Death Valley di pegunungan Cottonwood Mountains bagian dari taman nasional bernama Death Valley National Park di Inyo County, California, Amerika Serikat.
Danau kering Racetrack Playa ini permukaannya terdiri dari batuan sedimen yang terbuat dari lumpur dan tanah liat.
Berada di ketinggian 3608 kaki (1130 m) di atas permukaan laut, memiliki panjang 2,8 mil (4,5 km) dari utara ke selatan, dan lebarnya 1,3 mil (2 km) dari timur ke barat.
Danau kering ini sangat datar dan sejajar antara ujung utara dan ujung selatannya, yang hanya 1,5 inci (3,8 cm) lebih tinggi dari ujung selatannya.
Racetrack Playa merupakan danau kering yang dikelilingi oleh pegunungan dan bukit, salah satunya yang tertinggi bernama puncak Ubehebe.
Lembah Racetrack (Racetrack Playa) yang merupakan cekungan endorheic ini berada diantara Pegunungan Cottonwood di sebelah timur, dan Rentang Nelson (Nelson Range) disebelah baratnya.
Selama periode musim hujan lebat, air dari pegunungan disekitarnya mengalir turun ke playa tersebut, lalu membentuk air yang dangkal dan terciptalah danau endorheic.
Di bawah matahari, gurun panas dengan lapisan air yang tipis ini kemudian akan cepat menguap, meninggalkan lapisan permukaan lumpur licin yang lembut.
Sebagai permukaan lumpur itu mengering, menyusut dan retak menjadi mosaik berpolapoligon.
Poligon secara literal berarti “banyak sudut”, merupakan bentuk datar yang terdiri dari garis lurus yang bergabung untuk membentuk bentuk rantai tertutup atau sirkuit.
Selain itu, iklim di daerah ini juga kering. Dengan curah hujan yang hanya maksimal dua inci per tahun.
Namun disaat hujan, pegunungan terjal yang mengelilingi Racetrack Playa akan menyuplai air ke permukaan danau dan menyulapnya menjadi danau dangkal yang sangat luas.
Sayangnya, ini hanya bertahan beberapa hari saja. Setelah itu, dalam keadaan basah, permukaannya berubah menjadi lumpur yang lembut dan licin.
Tak itu saja tapi ada keunikan lain dari danau ini, disisi utara agak ke barat (barat laut) di danau terdapat seonggok batu-batu besar bernama Granstand.
Grandstand seperti batuan monolith berwarna gelap, oleh karenanya akan nampak dengan mudah karena danau kering ini berwarna cerah. Dari udara, Grandstand dapat dilihat dengan mata telanjang hingga ketinggian 40,000 foot (12 km).
Grandstand lumayan besar, sedangkan tingginya adalah 73 feet (22 m) dari permukaan danau.Grandstand ini terdiri dari batuan Quartz – monzonit, juga disebut Adamellite . Ini adalah batuan beku, terbentuk dari hasil vulkanik.
Quartz monzonit terdiri dari kuarsa dan dua jenis feldspar, namun memiliki kurang kuarsa dari 20% di granit.
Fedspar adalah kelompok mineral tektosilikat pembentuk batu yang membentuk 60% kerak Bumi.
Komposit tersebut memiliki komposisi kuarsa kurang dari 20% yang disebut sebagai granitoid.
Batuan itu terbentuk selama zaman Pleistosen, seperti juga puncak Ubehebe Peak dan Rentang Panamint Mountains ke barat, dan Pegunungan Cottonwood ke timur.
Di sisi selatan Grandstand, terdapat tanda-tanda yang jelas dari potongan gelombang hasil dari erosi dapat terlihat, menciptakan overhang atau menggantung namun serong, yang terlihat dari jarak 30 meter di atas ketinggian Racetrack Playa itu.
Formasi ini menunjukkan daerah Racetrack Playa mengalami lebih banyak curah hujan di era geologi masa lalu.
Sedangkan batu-batuan dari pegunungan-pegunungtan disekitanrya tersebut, sering rontok dan jatuh ke dalam dataran danau yang telah kering ini.
Anehnya, banyak dari batuan-batuan tersebut dapat bergeser sendiri dengan arah yang tak selalu sama, kadang ke utara, kadang ke selatan bahkan ke barat atau ke timur, tak ada patokan.
Ada pula batu-batu yang bergerak hampir sejajar, namun ada juga yang lintasannya melengkung, bahkan saling bersilangan.
Tak ada yang tahu pasti oleh apa batu-batu itu dapat bergeser dan bergerak. Karena tak ada seorangpun, baik ilmuwan atau orang lokal yang pernah “memergokinya” disaat bergerak.
Lalu, kenapa para pengunjung dan ilmuwan yakin bahwa batu-batu tersebut memang bergeser dan bergerak?
Keyakinan bergesernya batu-batu tersebut karena terlihat dari “jejeknya” yang berupa garis memanjang dibelakangnya.
Banyak ilmuwan berdebat mengenai bagaimana batuan-batuan tersebut dapat bergeser dan bergerak.
Padahal di dataran bekas danau itu bisa dibilang: nyaris rata, tak menurun atau menanjak yang dapat mempengaruhi gaya gravitasi sebagai penyebabnya.
Ada beberapa asumsi atau penjelasan tentang mengapa batu-batu di Racetrack Playa dapat berjalan.
Semua penjelasan tersebut masuk akal. Bisa jadi Anda setuju dengan salah satunya. Namun, sampai saat ini belum ada yang dapat membuktikannya bersama-sama secara ilmiah.
Kemungkinan Batu Bergerak Oleh Beberapa Faktor
Ada beberapa faktor kemungkinan yang membuat batu-batu tersebut bergerak, diantaranya:
Digerakkan manusia atau hewan
Jejak yang terbentuk di belakang batu menunjukkan bahwa batu-batu berjalan itu berpindah saat permukaan Racetrack Playa masih ditutupi dengan lumpur yang sangat lembut. Dan, di sekitar jejak batu, tidak ada lumpur yang rusak akibat jejak makhluk hidup lainnya. Artinya, sangat kecil kemungkinan batu tersebut dipindahkan oleh manusia dan hewan.
Jejak yang terbentuk di belakang batu menunjukkan bahwa batu-batu berjalan itu berpindah saat permukaan Racetrack Playa masih ditutupi dengan lumpur yang sangat lembut. Dan, di sekitar jejak batu, tidak ada lumpur yang rusak akibat jejak makhluk hidup lainnya. Artinya, sangat kecil kemungkinan batu tersebut dipindahkan oleh manusia dan hewan.
Digerakkan oleh angin
Ini penjelasan paling favorit dan dipilih banyak orang karena dinilai paling mungkin. Bukan asal tebak atau sekedar menerka-nerka. Tapi, jika dipelajari dari jejak batu yang berjalan, arahnya sejajar dengan arah angin yang berhembus di Racetrack Playa, yakni dari barat daya ke arah timur laut.
Ini penjelasan paling favorit dan dipilih banyak orang karena dinilai paling mungkin. Bukan asal tebak atau sekedar menerka-nerka. Tapi, jika dipelajari dari jejak batu yang berjalan, arahnya sejajar dengan arah angin yang berhembus di Racetrack Playa, yakni dari barat daya ke arah timur laut.
Hembusan angin kencang diperkirakan mampu menyenggol batu sampai berpindah tempat. Kurva pada jejak batu tersebut dibentuk oleh pergeseran arah angin yang membawanya, karena interaksi angin dan batu tidak teratur.
Digerakkan oleh es
Beberapa orang mengaku sempat menyaksikan Racetrack Playa tertutup oleh lapisan es tipis. Idenya, air membeku di sekitar batu. Lalu, angin berhembus di atas permukaan es dan menyeret lapisan es berikut batu yang tertancap di permukaan es.
Beberapa orang mengaku sempat menyaksikan Racetrack Playa tertutup oleh lapisan es tipis. Idenya, air membeku di sekitar batu. Lalu, angin berhembus di atas permukaan es dan menyeret lapisan es berikut batu yang tertancap di permukaan es.
Beberapa penelitian telah menemukan jejak sangat kongruen pada beberapa batu. Namun, seharusnya pengangkutan lapisan es besar diharapkan meninggalkan tanda para permukaan Playa. Sampai saat ini, tanda tersebut belum bisa dibuktikan.
Karena belum ada yang melihat dengan langsung bagaimana batu-batuan tersebut bergerak, maka semuanya hanyalah teori yang belum dapat dipastikan bahwa batu tersebut memang bergerak berdasarkan semua teori yang masuk akal seperti yang tersebut diatas.
Mungkin saja Anda setuju dengan salah satu dari beberapa penjelasan di atas. Atau, tidak ada salahnya jika Anda mempunyai penjelasan lain yang berbeda tentang bagimana batu-batu tersebut dapat bergerak secara acak.
Tetapi, mungkin cerita ini akan tetap menarik jika jawabannya tidak pernah diketahui dan tetap menjadi misteri.
Misteri Mengapa Batu Bergeser Akhirnya Terkuak!
Hampir seabad sudah, batu-batu yang berada di Death Valey atau Lembah Kematian menjadi misteri ilmu pengetahuan. Bebatuan besar yang rata-rata beratnya sekitar 320 kilogram didapati berpindah tempat. Seolah ada kekuatan magis yang memindah dari satu titik ke titik yang lain. Batu-batu ini seperti punya kaki.
Hanya terdapat bekas goresan pada lumpur yang sudah kering saja, sebagai petunjuk adanya pergeseran batu. Sementara bagaimana dan apa penyebab batu-batu itu berpindah tempat, menjadi misteri dalam jangka waktu sangat lama. Pengamatan demi pengamatan yang dilakukan para ilmuwan hanya mendapati padang debu dan tanah retak saja.
Namun, kali ini para ilmuwan tak bingung lagi. Pertanyaan seputar fenomena aneh itu sudah terpecahkan. Bisa dijelaskan secara ilmiah pula. Sehingga, tak ada anasir magis yang tak bisa dicerna akal manusia dalam proses pergeseran batu-batu yang kerap disebut ‘sailing stones‘ atau ‘batu-batu berlayar’ tersebut.
Menurut laman Daily Mail, pada hari Kamis 28 Agustus 2014 lalu, misteri itu diungkap oleh ilmuwan dari San Diego. Para ilmuwan tersebut mengklaim telah melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana batu-batu itu pindah dari satu titik ke titik lain pada ‘Lembah Kematian’ yang berada di wilayah Amerika Serikat itu.
Tak mudah memang bagi para peneliti dari Scripps Institution of Oceanography, San Diego, untuk mendapat jawaban itu. Mereka bahkan tak pernah berharap untuk melihat pergerakan batu-batu itu. Sebab, selama puluhan tahun melakukan pengamatan, hanya mendapati batu-batu itu duduk terdiam di atas tanah gersang itu.
Hingga pada suatu saat mereka memutuskan untuk memonitor bebatuan itu dengan memasang GPS pada sejumlah batu serta alat pengintai stasiun cuaca yang memiliki resolusi tinggi yang bisa mengukur riak air untuk interval satu detik saja. Alat-alat itu dipasang pada 15 batu di sana.
Penelitian ini dilakukan pada musim dingin 2011 silam. Tentunya dengan izin petugas taman tersebut. Kepala penelitian, Ralph Lorenz, menyebut eksperimen itu merupakan penelitian paling membosankan yang pernah dia lakukan. Karena harus menunggu pergerakan batu-batu yang tidak berkaki.
Tapi pada Desember 2013, Richard Norris, penulis penelitian, serta sepupu Norris, Jim Norris, datang ke ‘Lembah Kematian’.
Kala itu mereka menemukan danau, yang juga disebut Playa itu, sedang tertutup air dengan ketinggian sekitar tujuh sentimeter.
Tak lama setelah itu, mereka melihat sebuah keajaiban, batu-batu di hadapan mereka bergerak. “Ilmu pengetahuan kadang-kadang memiliki unsur-unsur keberuntungan,” kata Norris.
“Kami memperkirakan menunggu lima hingga sepuluh tahun tanpa ada apapun yang bergerak, namun hanya dalam waktu dua tahun proyek ini berjalan, kami hanya kebetulan saja berada di sana pada waktu yang tepat untuk melihat sendiri hal itu terjadi”, tambahnya.
Dari pengamatan mereka menunjukkan bahwa batu-batu yang bergerak itu memerlukan kombinasi peristiwa yang langka.
Pertama (gambar A), playa terisi air, yang harus memiliki ketinggian yang cukup untuk mengambangkan es selama malam-malam di musim dingin, tapi juga cukup dangkal untuk mengangkat batu.
Saat malam tiba, temperatur di wilayah itu menjadi turun. Akibat suhu yang turun itu, maka kolam sebelumnya yang berisi air itu kemudian membeku dan menjadi lembaran-lembaran es.
Kedua (gambar B), setelah lembaran-lembaran es mulai terbentuk menyerupai kaca-kaca jendela yang cukup tipis, maka akan mengakibatkan lembaran-lembaran es tersebut dapat bergerak secara bebas. Namun kondisi lapisan es itu juga harus agak tebal untuk dapat tetap mempertahankan kekuatannya.
Ketiga (gambar C), saat hari mulai cerah, es mulai mencair dan kemudian pecah menjadi gumpalan-gumpalan yang mengambang.
Dengan angin yang berhembus tipis saja di atas kolam luas itu dan ditambah dengan licinnya es yang mulai mencair, maka batu-batu yang berada di atas kolam mulai terdorong dan meninggalkan jejak di lumpur lunak yang berada di bawah permukaan.
Keempat (gambar D), Richard Norris mengungkapkan bahwa ini terjadi pada 21 Desember 2013 lalu. “Es pecah sekitar tengah hari, dengan terdengar suara retakan yang datang dari seluruh permukaan yang membeku. Saya bilang kepada Jim, ini dia,” kata Richard Norris.
Fenomena ini telah membalikkan teori-teori yang sebelumnya banyak bermunculan, seperti kekuatan badai, setan debu, alga licin, atau lembaran es yang tebal, yang mempengaruhi pergerakan batu itu.
Sebaliknya, batu-batu itu bergerak di bawah angin spoi-spoi, yang berhembus 3 hingga 6 meter perdetik dan didorong dengan es yang tebalnya hanya 3 hingga 5 milimeter saja.
Ukuran yang sangat mustahil untuk mengangkat batu-batu besar. Namun ternyata, es tipis itu justru telah mengurangi gesekan dengan permukaan tanah.
Menurut pengamatan, batu-batu itu bergerak lamban, hanya sekitar 2 hingga 6 meter per menit. Sebuah pergerakan yang nyaris tak bisa dilihat dari kejauhan.
“Ada kemungkinan wisatawan benar-benar melihat ini terjadi tanpa disadari,” kata Jim Norris.
Batu-batu itu bergerak dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan durasi waktu antara beberapa detik sampai 16 menit.
Dalam salah satu kesempatan, para peneliti mengamati batu yang berada pada bidang seluas tiga kali lapangan bola.
Batu itu bergerak terus menerus hingga jarak sekitar 60 meter, sebelum akhirnya berhenti. Para peneliti yakin bebatuan itu telah berkali-kali bergerak sebelum akhirnya mencapai tempat terakhir. Mereka menduga pergerakan terakhir sebelumnya terjadi pada tahun 2006 lalu.
“Sehingga batu dapat bergerak hanya seperjuta waktu saja,” kata Profesor Lorenz. “Ada juga bukti bahwa frekuensi gerakan batu, yang membutuhkan malam yang dingin untuk membentuk es, kemungkinan telah menurun sejak tahun 1970 karena perubahan iklim,” tambah Lorenz.
Lantas, dengan temuan itu, apakah misteri batu bergerak di Lembah Kematian telah terungkap?
“Kami mendokumentasikan lima peristiwa pergerakan batu dalam dua setengah bulan di kolam itu dan beberapa diantaranya melibatkan ratusan batu,” ujar Norris.
“Jadi kami telah melihat bahwa meskipun diDeath Valey, yang terkenal panas, es mengambang merupakan kekuatan besar dalam pergerakan batu,” tambah Norris.
Namun para ilmuwan itu belum pernah melihat batu-batu besar bergerak dengan mekanisme seperti yang ditemui di Lembah Kematian ini. (nasa.gov/ vivanews/dream.co.id/ berbagai sumber)
Komentar
Posting Komentar
Ingatlah untuk selalu memberikan komentar yang sopan dan bermanfaat.